SDGs dan Relevansinya dalam Pandemi COVID-19

Rabu, 06 Mei 2020 – Zoom Meeting dan Live Streaming pada INFID Youtube Channel

Jakarta, 06 Mei 2020, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pencapaian SDGs (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) bersama INFID menyelenggarakan diskusi publik dengan tema “SDGs dan Relevansinya dalam Masa Pandemi COVID-19”.

SDGs dan Relevansinya dalam Pandemi COVID-19

Sejak pertama kali diumumkan oleh Pemerintah Indonesia pada tanggal 02 Maret 2020, kasus COVID-19 merebak dan mengancam kesehatan masyarakat, sosial dan ekonomi. Virus ini telah menginfeksi lebih dari dua belas ribu orang di Indonesia dan membunuh hampir 900 orang diantaranya. Pandemi COVID-19 juga menyebabkan hilangnya pekerjaan bagi kurang lebih 2 juta pekerja, dan menurunkan laju konsumsi masyarakat yang merupakan penyokong utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Kondisi yang belum kunjung membaik ini kemudian menimbulkan kekhawatiran mengenai dampaknya terhadap pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) di Indonesia. Selama empat tahun terakhir, pemerintah telah mencoba menerjemahkan SDGs ke dalam kebijakan nasional. Walaupun dalam upaya memitigasi dampak COVID-19 pemerintah telah mengeluarkan kebijakan stimulus fiskal dan jaring pengaman sosial, namun kebijakan ini dikhawatirkan tidak tepat sasaran dan mengabaikan kelompok rentan. Pengabaian tersebut tentunya mencederai prinsip SDGs “Leave No One Behind”.

Dalam konteks gender, walaupun telah ada Peraturan Kepala (Perka) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) No. 13 tahun 2014 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Penanggulangan Bencana, namun sayangnya peraturan tersebut tidak menjadi rujukan hukum dalam pembentukan SK Satgas Percepatan Penanganan COVID-19 No. 18 tahun 2020 yang versi revisinya dikeluarkan pada tanggal 29 April 2020. Akibatnya, representasi perempuan dalam struktur kelembagaan Gugus Tugas Penanganan COVID-19 tingkat nasional hingga daerah sangat minim. Padahal, kontribusi perempuan dalam penanganan COVID-19 di Indonesia sangat tinggi. Salah satu diantaranya, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 (Letjen TNI Doni Monardo) menyebutkan bahwa 71% perawat Indonesia adalah perempuan. Tidak terlibatnya perempuan kemudian memunculkan berbagai resiko diskriminasi, tidak terakomodasinya kebutuhan perempuan bahkan meningkatkan prevalensi kekerasan terhadap perempuan. Berdasarkan data SIMFONI PPPA per 2 Maret – 25 April 2020 saja, ada 275 kasus kekerasan yang dialami perempuan dewasa, dengan total korban sebanyak 277 orang dan 368 kasus kekerasan yang dialami anak, dengan korban sebanyak 407 anak.[1]

Laili Zailani, Ketua Dewan Pengawas HAPSARI (Himpunan Serikat Perempuan Indonesia) Sumatera Utara menegaskan dampak penanganan COVID-19 yang tidak menggunakan pengarusutamaan gender terhadap pemberdayaan perempuan di daerah.

“Sebelum pandemi COVID-19, HAPSARI telah membangun kolaborasi dan sinergi layanan dengan pemerintah kabupaten hingga tingkat desa. Sinergi ini tumbuh menjadi model implementasi pengarusutamaan gender dan pemberdayaan perempuan dalam isu penanggulangan kemiskinan daerah. Namun ketika struktur kelembagaan Desa Tanggap COVID-19 dan pembentukan Relawan Desa mengabaikan partisipasi perempuan di luar struktur formal pemerintahan desa, partisipasi perempuan untuk bersinergi dengan pemerintah kehilangan akses dan kontrolnya. Komposisi kepemimpinan Satgas COVID-19 yang tidak memperhatikan gender balance mulai dari tingkat nasional sampai daerah menyebabkan tertutupnya akses untuk perempuan untuk menjadi bagian dari kepemimpinan di Satgas COVID-19.”

Tidak hanya perempuan, pemerintah juga seakan abai untuk mengayomi para pekerja migran, pahlawan devisa Indonesia. Mereka tidak diprioritaskan untuk dipulangkan ke Indonesia saat kecamuk awal COVID-19 dengan alasan legalitas keimigrasian, logistik pangan yang terbatas, bahkan tidak siapnya penyediaan data mobilitas pekerja migran Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa hak-hak kelompok rentan terdampak belum diprioritaskan dalam penanganan COVID-19.

Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant CARE, menyatakan “Para pekerja migran adalah korban pertama COVID-19. Saat masyarakat dan Pemerintah Indonesia sebagian besar masih menjadi penonton kecamuk virus corona di episenter awal daratan Tiongkok dan sekitarnya, pekerja migran Indonesia sudah berjibaku sendiri menghadapi ini, dengan resiko berlipat-lipat: tertular virus, distigma sebagai pembawa virus, bertambah beban pekerjaan atau bahkan kehilangan pekerjaan.”

Berkaca dari pengalaman di daerah, Sarah Lery Mboeik, Direktris PIAR (Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat) Nusa Tenggara Timur memberikan pandangan yang lebih makro mengenai SDGs dan COVID-19. Lery menyesalkan komitmen pemerintah yang tidak serius menerjemahkan program SDGs dalam kebijakan nasional dan daerah sehingga menyebabkan kegugupan pemerintah dalam menangani COVID-19. “Tidak konsekuennya usaha pencapaian SDGs selama 5 tahun belakangan membuat kita kesulitan dalam mengatasi masa pandemi COVID-19.”

Pelaksanaan SDGs secara “business as usual” dan tidak cukup holistik membuat Indonesia tidak siap dengan ketersediaan data terpilah, monitoring dan evaluasi yang tidak efektif, ketidakjelasan anggaran, dan pengarusutamaan gender yang sangat diperlukan dalam penanganan pandemi COVID-19. Beliau menambahkan, “Krisis COVID-19 juga menjadi pemicu permasalahan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), hubungan inces (sedarah), terhentinya pelayanan kepada anak gizi buruk dan stunting, posyandu, dan Keluarga Berencana (KB) di NTT.”

Mengacu pada UNDESA (Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa), Setyo Budiantoro dari Sekretariat SDGs Nasional, menyatakan bahwa COVID-19 punya dampak terhadap semua 17 tujuan SDGs. Untuk merespon hal tersebut, gotong royong untuk menanggulangi COVID-19 dengan panduan SDGs harapannya dapat dilakukan. Dalam upaya mewujudkannya, beberapa agenda besar pemerintah ke depan adalah memastikan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) berjalan dengan baik, membangun kepercayaan masyarakat, memastikan jaring pengaman sosial terdistribusi dengan baik, menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN) SDGS yang inklusif dengan membangun orkestrasi bersama pasca COVID-19, menyusun dan mengimplementasi Rencana Aksi daerah (RAD) SDGs yang inklusif, serta mengarahkan pembangunan yang berparadigma SDGs sebagai the new normal.

COVID-19 berhasil memberikan peringatan keras kepada praktek rencana aksi SDGs di Indonesia yang masih belum mengakomodasi kelompok rentan dan terdampak, diantaranya perempuan, pekerja migran, dan anak-anak. Pandemi COVID-19 juga menggambarkan dengan jelas bahwa sudah saatnya pemerintah dan masyarakat menata ulang apa yang sudah diporak-porandakan oleh COVID-19. Upaya tersebut tentunya membutuhkan kolaborasi multipihak untuk bersama-sama membawa pembangunan Indonesia kedepannya menjadi lebih adil, inklusif dan berkelanjutan.

[1]https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/2647/sejiwa-lindungi-psikologi-perempuan-dan-anak-saatpandemi-covid-19 (diakses pada: 5/5/2020 Jam 11.39 WIB)

Narahubung: Denisa Amelia Kawuryan (denisa@infid.org)

Bagaimana menurut Anda?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0