SEMINAR REFLEKSI AKHIR TAHUN BENCANA DAN KOMUNITAS

SEMINAR REFLEKSI AKHIR TAHUN BENCANA DAN KOMUNITAS

Tanggal: 16 DESEMBER 2019
Tempat: Ruang Auditorium Lantai 2, Perpustakaan Nasional, Jalan Merdeka Selatan, Jakarta
Pukul: 09.00-16.00 WIB
HTM: GRATIS UNTUK UMUM

SEMINAR REFLEKSI AKHIR TAHUN BENCANA DAN KOMUNITAS

Pengantar

Gempa beruntun terjadi beberapa bulan belakangan, selama bulan September 2019 Badan Meteorologi Klimatologi (BMKG) mencatat sebanyak 924 kali, sepanjang September 2019. Menurut keterangan BMKG, aktivitas gempa di wilayah Indonesia didominasi oleh gempa kecil dengan magnitudo kurang dari 5,0 sebanyak 895 kali. Sementara, gempa dengan magnitudo lebih dari 5,0 di bulan September terjadi sebanyak 29 kali.

Sementara gempa merusak di bulan September hanya terjadi 2 kali, yaitu gempa Halmahera Selatan pada 15 September 2019 dengan magnitudo 6,0 yang merusak beberapa rumah di Halmahera selatan, dan gempa Kairatu-Ambon yang terjadi pada 26 September 2019 dengan magnitudo 6,5. Gempa ini merusak ribuan bangunan rumah, puluhan orang meninggal, ratusan orang mengalami luka-luka, dan ribuan orang mengungsi. Demikian menurut catatan dari BMKG.

Berdasarkan catatan BNPB, sampai 13 November 2019, terjadi 3.200 kali kejadian bencana. Kejadian bencana tersebut masih didominasi oleh bencana akibat iklim, angin putting beliung, 1.010 kali, banjir 680 kali, longsor 651, kekeringan 121 kali, serta gempa, dll. Beleum lagi kerugian akibat gagal panen, kekurangan air bersih, catatan bencana, belum menghitung dengan rinci kerugian akibat kebakaran hutan yang telah menelan 857.756 hektar, yang terdiri dari 630.451 hektar lahan mineral dan 227.304 lahan gambut, jumlah ini naik tajam hampir 160% jika dibandingkan dengan luasan yang terbakar tahun lalu.

Sementara dampak bencana gempa, di wilayah Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Barat, yang terjadi pada tahun 2018, masih menyisakan banyak persoalan, rumah sementara yang tidak layak, dana bantuan yang belum turun, serta berbagai isu terkait dengan masalah kemanusian, rumah yang tidak layak untuk para disabilitas, masyarakat adat dan pengabaian lainnya.

Tidak hanya itu dampak bencana di dua wilayah yang merugikan negara hampir 20 triliun rupiah, juga melumpuhkan berbagai sector ekonomi. Pariwisata yang menjadi andalan NTB, sepi dan merosot tajam hampir 50%. Banten, dengan pantai Anyernya, akibat bencana longsoran gunung anak Krakatau, pariwisata turun drastic sampai mendekati 70%, hal ini juga berdampak pada perekonomian masyarakat kecil, yang tehubung dengan sektor pariwisata, rumah-rumah makan, hasil kerajinan terpaksa sebagian gulung tikar (Destana 2019). Bahkan beberapa hotel kini sudah mulai gulung tikar dan terpaksa merumahkan pegawainya. Bencana memang berdampak besar bagi sektor ekonomi, sehingga mau tidak mau kesiapsiagaan harus dibangun.

Indonesia memang negeri cincin api, dimana di hampir setiap wilayah memiliki gunung api aktif dan sesar aktif, ada 295 sesar aktif yang terus bergerak, yang ketka bertumbukana kan

menimbulkan gempa. Selain itu, Indonesia juga menjadi wilayah yang rawan terkena dampak perubahan iklim, seperti negara kepulauan lainnya, kenaikan muka air laut akan mengakibatkan ROB di berbagai wilayah, banjir di musim penghujan, longsor, panas yang bekepanjangan akan semakin dirasakan oleh masyarakat di Indonesia.

Dan dapat dipastikan bahwa bencana akan berdampak lebih parah bagi masyarakat yang hidup di wilayah-wilayah remote area, masyarakat yang tidak memperoleh akses, informasi, transportasi, masyarakat yang tinggal di pegunungan, dll. Apalagi bagi masyarakat adat yang tinggal jauh di wilayah-wilayah terpencil, belum lagi akses informasi tentang wilayah yang sulit mereka peroleh.

Pemerintah sendiri tentu berupaya keras membangun kesiapsiagaan, tetapi saat terjadi bencana selalu kesan tidak tanggap yang mengemuka. Kebakaran hutan contohnya, data awal tentang potensi kebakaran berupa titik-titik merah selalu dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang, pantasnya memang ditindak lanjuti. Peristiwa yang sama hampir setiap tahun terjadi, dan selalu persoalan yang sama muncul ke permukaan, upaya hukum juga sudah dipilih, tetapi tetap saja, pelaku yang lain melakukan kejahatan yang sama.

Berbagai bencana sepertinya hampir terjadi setiap tahun, tetapi penanganan masih belum terasa semakin membaik, apalagi bicara soal mitigasi dan upaya pengurangan risiko bencana, selalu pendanaan yang menjadi sumber keluhan dan dituding menjadi biang keladi tak sigapnya Indonesia menghadapi bencana, padahal manajemen 4.0 sudah didengung-dengungkan, agar upaya mitigasi menjadi salah satu unggulan bagi penanganan bencana di Indonesia.

Tahun 2020, juga akan penuh tantangan dan ancaman bencana, siapkah kita menghadapi ancaman yang sudah ada di depan mata, bencana katastropik yang setiap waktu bisa datang atau bencana hidrologi yang perlahan namun pasti akan menimbulkan korban, atau bencana ekologi yang sudah banyak memakan korban.

Untuk itulah kami dari Komunitas Bencana, yang terdiri dari berbagai lembaga swadaya masyarakat, akan mencoba memberikan catatan kritis diakhir tahun tentang bagaimana pengelolaan bencana bersama komunitas, serta ketahanan semacam apa yang perlu di tumbuh kembangkan, tentu kami juga perlu mendengarkan persfektif pemerintah, bagaimaan informasi penting tentang tata ruang yang beririsan dengan potensi bencana dapat diketahui oleh masyarakat ?

Aktivitas
Seminar satu hari

Tujuan

  • Memberikan catatan akhir tahun tentang bencana di Indonesia, berdasarkan persfektif komunitas
  • Memberikan catatan kritis tentang bagaimana membangun kesiapsiagaan masyarakat
  • Memberikan catatan kritis, situasi dan persfektif bencana tahun 2020
  • Membuka ruang kerjasamanya strategis di masa depan untuk upaya pengurangan risiko bencana

Info dan kontak:

RINI DARSONO – 0811555287 (WA) / #nama #lembaga #No HP # Email

Registrasi Online : https://bit.ly/2PbigGc

Bagaimana menurut Anda?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0