Negara Harus Hadir: Kecukupan, Kecepatan dan Ketepatan Membatasi Dampak COVID-19

Hari – hari ini, Indonesia sedang dilanda krisis kesehatan COVID -19, dan mungkin akan memasuki krisis ekonomi dan krisis sosial, jika pemerintah terlambat dan keliru dalam kebijakan dan penanganannya. Untuk mencegah dan membatasi krisis kesehatan, Presiden Jokowi dan seluruh jajaran pemerintah Indonesia perlu segera melakukan pendekatan Negara Hadir. Pendekatan Negara Hadir tidak lain ditandai oleh 3 hal: Kecukupan, Kecepatan dan Ketepatan Tindakan dan Kebijakan.

Kecukupan artinya pemerintah perlu mengerahkan seluruh kemampuan dan upaya termasuk melalui kebijakan fiskal, kebijakan kesehatan komprehensif, pendataan dan informasi publik. Kecukupan akan terlihat dari jumlah dan ketersediaan alat testing dan sarana karantinaKecepatan artinya kebijakan dan tindakan pemerintah tidak boleh menunggu (sampai jumlah terinfeksi atau jumlah meninggal menjadi banyak/tinggi), tetapi harus dengan sikap antisipasi dan looking forward. Indikatornya adalah sejauh mana penyemprotan dan pembersihan sudah dilakukan, baik di tempat kerja dan di tempat tinggal. Ketepatan artinya harus berdasarkan bukti-bukti yang ada, baik berdasarkan pedoman WHO maupun pengalaman negara–negara lain. Indonesia juga perlu melakukan benchmarking dengan negara–negara lain, untuk mampu dan agar lebih berhasil.

Penyebaran virus corona dan korban meninggal di Indonesia terus merangkak naik. Dari yang awalnya 2 orang pada laporan kasus pertama, kemudian menjadi 309 orang (per 19 Maret 2020). Dari 309 kasus, 25 orang meninggal dan 15 lainnya sembuh. Dengan angka tersebut, Indonesia merupakan negara dengan kasus kematian akibat COVID-19 tertinggi kedua di Asia Tenggara, dengan tingkat kematian (Case Fatality Rate/CFR) mencapai 8,4% (masuk dalam 10 besar yang tertinggi di dunia per 19 Maret)

Belum selesai sampai di sana, pemerintah Indonesia harus lebih waspada dengan jumlah penderita yang layaknya fenomena gunung es. Menurut situs worldometers.info,  pertumbuhan kasus Coronavirus di China terbukti terjadi dengan kenaikan drastis. Dari 571 kasus di 22 Januari, kemudian menjadi 44.653 kasus di tanggal 11 Februari (dalam kurun 20 hari, kasus di China berlipat menjadi hingga 44 ribu kasus). Untuk itu, apabila model prediksi yang sama diberlakukan di Indonesia, menjelang bulan puasa, COVID-19 diperkirakan akan menginfeksi lebih dari 1 juta orang di Indonesia (1.281.469 orang).  

Hal ini tentu menimbulkan keresahan mengenai kecukupan kapasitas infrastruktur dan tenaga medis Indonesia. Menurut situs berita Kumparan, bahkan jumlah bed ratio Indonesia hanya 1,2:1000 pasien. Selain itu, terbatasnya Unit Perawatan Intensif (ICU) dan ventilator di Indonesia juga patut diperhatikan mengingat sekitar 20% kasus infeksi COVID-19 memerlukan rawat inap, 5% kasus membutuhkan ruang ICU, dan sekitar 2,5% membutuhkan bantuan yang sangat intensif, dengan item seperti ventilator atau ECMO (oksigenasi ekstra-korporeal).

Presiden Jokowi meskipun dinilai terlambat, kemudian menandatangani Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Sebagai ketua pelaksana gugus tugas penanganan COVID-19, ditunjuk langsung kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Presiden Joko Widodo juga memerintahkan tim satuan gugus tugas COVID-19 agar segera melakukan tes massal atau rapid test dengan cakupan yang luas. Tes ini terbukti efektif menekan penyebaran virus Corona seperti prakteknya di Korea Selatan dan China yang kini dalam keadaan terkendali. Akan tetapi kapan atau kecepatan tindakan tes massal ini akan dilakukan masih belum terkonfirmasi waktunya.

Saat ini tes yang tersedia masih terbatas untuk Orang Dengan Pengawasan (ODP) dan Pasien Dalam Pengawasan (PDP), serta berbayar bagi mereka di luar kelompok tersebut. Sangat sedikit akses pengecekan kesehatan yang bisa dilakukan secara gratis. Biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan sekali tes COVID-19 pun tidak sedikit, berkisar dari Rp 1.500.000,- hingga Rp 2.700.000,-. Hal tersebut tentu mempertajam ketimpangan di Indonesia dalam hal akses kesehatan dan dapat menghambat laju informasi tentang penyebaran COVID-19.

Akses informasi tentang COVID-19 juga masih sulit untuk didapatkan. Belum ada metode pencatatan yang terkoordinir dengan baik dalam mencatat perkembangan perluasan geografis dari virus yang dapat diakses mudah oleh masyarakat. Informasi tentang akses kesehatan yang dapat digunakan pun belum tersebar dengan baik, terutama kepada penyandang disabilitas. Demikian pula akses dukungan dan paparan/terinfeksi virus corona bagi tenaga kesehatan juga belum terbuka. Bantuan untuk baju hazardous materials, masker yang memadai, dan lainnya bagi tenaga kesehatan juga merupakan prioritas utama.

Menteri Keuangan juga telah mengeluarkan Surat Edaran Menteri Keuangan No.6/2020 untuk mitigasi corona, yang memberikan pedoman bagaimana melakukan perubahan kegiatan dan re-alokasi kegiatan untuk percepatan penanggulangan COVID-19. Sri Mulyani mengatakan “akan ada realokasi anggaran kementerian lembaga sebesar 5-10 triliun yang bisa digunakan untuk penanganan dan dampak dari COVID-19”.

Realokasi anggaran tersebut hendaknya menekankan perlindungan, partisipasi dan manfaat bagi pekerja ketimbang memberikan insentif bagi perusahaan. Untuk melindungi pekerja dan perusahaan terdampak corona, insentif harus dikondisikan untuk melarang pengurangan upah, tidak melanggar perjanjian kerja yang ada, maupun tuntutan konsekuensi tambahan kerja (waktu maupun beban kerja). Dalam hal ini insentif maupun stimulus benar memasukkan perlindungan bagi pekerja, dan ada preseden untuk melindungi pekerja ketika perusahaan dibantu dengan uang publik.

Namun, keselarasan kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah masih menjadi tantangan. Apabila lock down memiliki risiko tinggi mengingat Indonesia adalah negara berkembang, maka setidaknya pemerintah pusat dan daerah penting untuk menemukan pola koordinasi dan area penanganan pusat daerah. Memperbanyak tempat dan fasilitas testing yang bisa diakses warga dengan cepat dan mudah adalah langkah penting. Selain itu, social distancing perlu dikawal lebih kuat mengingat sifat penyebaran virus yang cepat dan masif.

Untuk membatasi perluasan virus, dan mencegah dampak sosial ekonomi yang dapat menjadi tidak terkendali, kami  International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) mendesak dan mengusulkan Presiden Jokowi dan seluruh jajaran pemerintah RI untuk:

1. Pemerintah wajib memperluas dan menambah pendanaan untuk rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta dan puskemas untuk penyediaan alat-alat testingSehingga semua warga yang hendak melakukan testing dapat mudah menjalaninya. Terutama dan dimulai dari DKI Jakarta dan 10 kota besar lainnya

2. Menyiapkan emergency fund dan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah se-Indonesia, khususnya di kota-kota besar untuk memperbanyak fasilitas isolasi dan karantina

3. Menyiapkan emergency fund dan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah untuk penyemprotan dan pembersihan ruang publik dan fasilitas umum. Termasuk menggerakan kelurahan kepala desa dan RT RW untuk melakukan penyemprotan dan pembersihan massal/desinfektan.

4. Segera dalam Maret atau awal April ini melansir skema Tunjangan Kehilangan Pekerjaan bagi pekerja dan karyawan yang terkena dampak pelemahan ekonomi dari virus corona

5. Segera dalam bulan Maret atau awal April ini melansir paket stimulus ekonomi kepada sektor industri yang terdampak baik dalam bentuk pinjaman lunak maupun dalam bentuk hibah.

6. Membangun sistem informasi yang akurat, terkoordinasi dengan baik dan transparan untuk semua orang. Guna mencegah berita palsu, dan sejenisnya.

7. Memastikan, dan menjamin pelayanan tanpa diskriminasi kepada  hak aksesibilitas untuk komunitas difabel/penyandang disabilitas.

Bona Tua (Program Officer SDG INFID), menyatakan: “Pemerintah penting untuk meningkatkan jumlah sarana dan prasarana serta fasilitas kesehatan bagi orang yang terinfeksi, Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dengan Pengawasan (PDP) dan suspek. Peningkatan jumlah tempat testing, jumlah dan kapasitas isolasi di rumah sakit dan fasilitas alat kesehatan adalah langkah nomor satu. Hal ini agar masyarakat merasakan rasa aman, dan jaminan kesehatan warga dipenuhi oleh pemerintah. Tidak hanya pada kondisi normal, melainkan pada kondisi kebencanaan non alam secara nasional.”

Sugeng Bahagijo (Direktur Eksekutif INFID), menyatakan: “Pemerintah perlu merubah target dari tindakan sepotong-sepotong menjadi tindakan untuk pengendalian efektif. Dari kebijakan minimalis menjadi kebijakan optimum optimarum. Caranya adalah negara hadir dengan berbagai skema dan tindakan. Tes corona secara masif harus cepat dilakukan. Indonesia bisa belajar dari Korea Selatan soal layanan tes virus Corona yang bisa dilakukan secara mudah seperti drive-thru. Selain itu skema Tunjangan Pengangguran bagi pekerja dan karyawan, serta paket stimulus ekonomi kepada sektor industri yang terdampak segera dilansir untuk mencegah krisis kesehatan meluas dan berlanjut menjadi menjadi krisis ekonomi dan sosial. “

Narahubung :

Bona Tua | bona@infid.org | 0812.9641.4142
Denisa | denisa@infid.org | 0822.3135.7435 


Bagaimana menurut Anda?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0