Masyarakat Sipil Bersama: INFID, Migrant CARE dan SEKNAS FITRA

Penanganan COVID-19 Indonesia di Hari ke-45: Percepatan Realisasi Rencana Menjadi Tantangan Berat Indonesia

Memasuki hari ke 45 atau 1.5 bulan, kebijakan dan tindakan pemerintah Indonesia dalam penanganan krisis COVID-19 mulai semakin nyata dan terencana. Namun kecepatan masih menjadi tantangan utama dalam menghadapi penularan pandemi yang semakin luas, serta dihadapkan pada tekanan kuat pemenuhan kebutuhan warga. Hal ini ditunjukkan dari i) Pelaksanaan tes yang masih rendah, yaitu 101 tes per 1 juta penduduk (total tes setelah 1,5 bulan yaitu 27.953 tes bagi 271 juta penduduk per 14 April); ii) Masih terhambatnya sinkronisasi kebijakan dan data penerima anggaran antara pemerintah pusat dan daerah dalam pelaksanaan bantuan tunai bagi warga terdampak; iii) Belum jelasnya tata cara insentif bagi dunia usaha (industri dan UMKM) dan iv) Potensi pengabaian kelompok marginal dalam penyaluran bantuan sosial.

Kita pasti berharap agar angka infeksi COVID-19 segera menurun atau stabil. Akan tetapi hal itu belum dapat terwujud apabila tes massal belum dilakukan. Selama 1,5 bulan, angka warga terinfeksi COVID-19 masih melonjak. Persentase angka kematian (CFR) Indonesia masih terus berada di 10 besar besar global dengan persentase 9,5% kematian dari total korban positif COVID-19. Total warga yang terinfeksi COVID-19 per 14 April yaitu 4.839 orang, 459 orang meninggal (9,5%), dan 426 orang sembuh.

Tantangan sosial ekonomi Indonesia diprediksi masih akan berat selama 3-6 bulan ke depan. Dampak sosial ekonomi kini mulai dirasakan langsung oleh banyak warga. Menurut Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziah, hingga Rabu, 8 April, sebanyak 1,2 juta pekerja dari 74.430 perusahaan mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan dirumahkan. Laporan ini belum mencakup kelompok pekerja non formal dan pekerja migran yang terdampak COVID-19.

Meskipun demikian, kemajuan sangat penting dan layak dicatat, yaitu telah terwujudnya koordinasi pusat dan daerah melalui Peraturan Menteri Kesehatan No.9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan sosial Berskala Besar (PSBB). PSBB merupakan aksi physical distancing dalam skala lebih luas disertai peningkatan disiplin dalam upaya menekan penyebaran COVID-19 lintas wilayah. Provinsi DKI Jakarta telah menetapkan PSBB dan akan segera diikuti oleh daerah Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Bodetabek)

Perkembangan terbaru, pemerintah telah menganggarkan dana besar untuk bidang kesehatan yaitu Rp 75 triliun, diikuti pengadaan mesin PCR dari Swiss dan alat pengecekan cepat COVID-19 dari China. Laboratorium uji sampel tes PCR juga telah tersedia sebanyak 29 dari 78 yang dipersiapkan. Selain itu, pemerintah juga telah memberi izin dan membuka peran rumah sakit swasta di daerah Tangerang serta lokasi lainnya untuk dapat melakukan tes COVID-19 (rapid dan swab test).

Apresiasi juga perlu diberikan dalam mengalokasikan kebijakan stimulus penanganan dampak sosial sebesar Rp 110 triliun. Kebijakannya yaitu menggratiskan listrik selama 3 bulan ke depan (April, Mei dan Juni) untuk pelanggan listrik 450VA (24 juta rumah tangga). Sementara, untuk pelanggan listrik 900VA (7 juta pelanggan), tarifnya didiskon 50%. Pemerintah juga berencana memberi bantuan terdampak khusus berbasis keluarga, bagi 2,6 juta warga (1,2 juta kepala keluarga) di Jakarta, dan 1,6 juta warga (567 ribu kepala keluarga) di Bodetabek. Masing-masing Rp 600 ribu per bulan selama tiga bulan. Bantuan ini ditujukan agar warga tidak melakukan mudik saat lebaran.

Pemerintah juga telah mengalokasikan anggaran untuk pemenuhan ketersediaan bahan pokok sebesar Rp 25 triliun. Kartu Sembako dinaikan kualitasnya dari Rp 150 ribu menjadi Rp 200 ribu untuk 20 juta penerima selama 9 bulan. Program Keluarga Harapan (PKH) mengalami penambahan penerima manfaat dari 9,2 juta keluarga, menjadi 10 juta keluarga penerima PKH. Selain itu PKH juga mengalami peningkatan kualitas dengan nilai bervariasi, seperti untuk Ibu hamil dan anak usia dini naik dari Rp 3 juta menjadi Rp 3,75 juta per tahun. Peningkatan kualitas PKH bagi disabilitas dan lansia juga naik dari Rp 2.4 juta menjadi Rp 3 juta per tahun.

Kerja keras Presiden, Menkeu dan Jajaran pemerintah dalam menyediakan anggaran juga terlihat pada perubahan anggaran pendapatan dan belanja (APBN) tahun anggaran 2020. Pemerintah setidaknya melakukan efisiensi dengan memotong belanja di 80 kementerian/lembaga dengan dengan total pemotongan Rp 126,6 triliun. Yang terkini, pemerintah juga sudah melansir Kartu Prakerja (KPK) (www.prakerja.go.id) dengan total penerima KPK sebesar 5,6 juta pekerja/orang.

Upaya lembaga non-pemerintah juga perlu diapresiasi dalam mendukung penanggulangan COVID-19. Berdasarkan Desk Relawan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, 18.830 warga telah mendaftar untuk menjadi relawan medis, non-medis dan hotline. Selain itu, rakyat, swasta dan masyarakat sipil bersolidaritas untuk menggalang dana, menyalurkan bantuan dan mendorong kampanye lawan COVID-19.

Meskipun demikian, tantangan yang dihadapi pemerintah Indonesia tidak hanya memastikan stabilitas kondisi di dalam negeri, tetapi juga terkait nasib jutaan WNI yang saat ini sedang bermigrasi ke luar negeri. Hingga 14 April, pendokumentasian Kementerian Luar Negeri menunjukkan sebanyak 373 kasus COVID-19 terkonfirmasi pada WNI yang tersebar di 28 negara, dengan persentase kasus meninggal dunia sebesar 4%. Mayoritas persebaran COVID-19 yang mengancam WNI di luar negeri terbagi dalam dua cluster utama, yaitu; 1) Pekerja Migran Anak Buah Kapal di sektor pariwisata dan perikanan, 2) Pekerja Migran Indonesia di wilayah episentrum (Malaysia, Singapura).

Respons dan perhatian khusus pemerintah terhadap perlindungan WNI (terutama pekerja migran) di luar negeri yang mayoritasnya merupakan pekerja migran patut diapresiasi. Mulai dari arahan Presiden pada Rapat Kabinet Terbatas pada 31 Maret lalu, hingga penyediaan infrastruktur kesehatan dan karantina yang dipersiapkan khusus di jalur-jalur perbatasan Indonesia.

Namun demikian, serangkaian langkah pemerintah dalam melindungi pekerja migran tersebut, perlu juga dipastikan dapat mengakomodir dimensi kerentanan yang dihadapi, seperti; Pertama, terkait akses perlindungan bagi WNI yang terdampak kebijakan karantina wilayah atau lockdown di luar negeri. Fenomena migrasi non-prosedural patut menjadi perhatian khusus, karena rentan terlewatkan dari intervensi dengan basis data yang “terdaftar”. Kedua, terkait persiapan infrastruktur dan sumber daya kesehatan di wilayah perbatasan yang perlu juga mengantisipasi kebijakan kontijensi ataupun arus kepulangan WNI secara masif. Ketiga, terkait akses perlindungan sosial bagi purna migran, calon pekerja migran dan anggota keluarganya yang terdampak. Ragam situasi kerentanan ini memerlukan respons kebijakan yang adaptif agar dapat memproyeksi, sekaligus mengantisipasi dampak jangka panjang situasi sosial dan ekonomi setelah pandemi usai.

Sugeng Bahagijo (Direktur Eksekutif INFID), menyatakan, “Presiden Jokowi dan para menteri telah menunjukkan fokus dan prioritas yang benar, melalui pendekatan whole-government dan intervensi dari semua jalur. Tetapi ujiannya hari hari ini adalah memastikan terjadinya percepatan atas semua rencana-rencana dan target target kerja penanganan COVID-19. Terutama memastikan dua hal segera terjadi yaitu (a) realisasi tes massal di DKI Jakarta dan (b) realisasi bantuan tunai dan bantuan lainnya kepada warga yang menerapkan PSBB”.

Badiul Hadi (Manager Riset, Seknas FITRA) menyatakan, “Prioritas penanganan pandemi COVID-19 selain fokus pada kesehatan, pemerintah harus sudah berfokus juga pada dampak sosial yang sudah mulai dirasakan oleh masyarakat. Karenanya pendistribusian bantuan, baik bantuan langsung tunai maupun bantuan yang terintegrasi dengan bantuan reguler lain seperti PKH, Kartu Sembako dan program lainnya kepada masyarakat harus segera direalisasikan. Pendataan harus dilakukan secara cermat, pemerintah harus memastikan bantuan tidak salah sasaran, dan tidak kalah penting pencairan bantuan harus dilakukan secara transparan dan akuntabel”.

Wahyu Susilo (Direktur Migrant CARE), menyatakan,”Penjangkauan dan penyaluran skema bantuan sosial, baik bantuan langsung tunai, kartu pra kerja maupun bentuk jaringan pengaman sosial lainnya harus bersifat inklusif, non diskriminasi dan memperhatikan prinsip no one left behind. Pekerja migran, walau menjadi kelompok yang paling awal terpapar COVID-19, kerap dilupakan dalam skema bantuan sosial. Dalam kebijakan perlindungan sosial menghadapi dampak COVID-19, harus ada skema khusus untuk pekerja migran, terutama untuk yang kehilangan pekerjaan, yang bertahan di negara tujuan ataupun yang pulang ke kampung halaman”.

Untuk mempercepat penanganan COVID-19, kami International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Migrant CARE, Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (SEKNAS FITRA), mengusulkan prioritas dan rekomendasi kepada jajaran pemerintah dan pihak berwenang untuk:

  • Mempercepat pencairan bantuan bagi warga, terutama bantuan tunai kepada warga yang terdampak COVID-19 di Jabodetabek dan kelompok pekerja rentan, termasuk pekerja migran.
  • Mempercepat pelaksanaan dan meningkatkan kapasitas tes massal di lab-lab Kemenkes (pemerintah) untuk laboratorium uji sampel tes PCR. Upaya ini juga perlu didukung dengan melibatkan infrastruktur yang tersedia di lab swasta dan lab universitas.
  • Pemerintah perlu melakukan sinkronisasi data dan kebijakan anggaran antara pemerintah pusat dan daerah, serta tidak membuat kebijakan parsial yang menghambat penyaluran skema bantuan sosial.
  • Melaksanakan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran penanganan COVID-19 dan pelaksanaan Kartu Pra Kerja, yang rawan terhadap tindak penyelewengan dan korupsi.
  • Pemerintah membuka ruang mekanisme pengaduan bagi masyarakat dalam penanganan dampak sosial, ekonomi dan kesehatan COVID-19, melalui skema kemitraan multi-pihak termasuk bagi partisipasi masyarakat sipil dan komunitas di tingkat desa untuk memaksimalkan peranan dalam penanggulangan yang adaptif dan responsif.
Bagaimana menurut Anda?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0